SUARA INDONESIA MALANG

GMNI: Pemerintah Ada Dipihak Rakyat atau Oligarki?

- 08 October 2020 | 16:10 - Dibaca 862 kali
Peristiwa GMNI: Pemerintah Ada Dipihak Rakyat atau Oligarki?
DPP GMNI menggelar aksi menolak UU Cipta Kerja. (ist)

JAKARTA - Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI) menyayangkan DPR RI menggelar sidang pengesahan UU Cipta Kerja. 

Hal itu dikarenakan sidang tersebut dilakukan disaat semua elemen bangsa sedang berjuang melawan Covid-19. Hal itu dikatakan oleh Wakil Ketua Bidang Pengorganisasian massa DPP GMNI Aru Pratama MS, Kamis (08/10/2020).

Menurut Aru, sapaan akrabnya, pengambilan keputusan ini terkesan diburu-buru. Sebab, proses pengambilan keputusannya pun tidak mengindahkan partisipasi publik. 

"Apakah dalam penyusunan UU Cipta Kerja antara Pemerintah dan DPR memikirkan buruh dan keluarganya yang sedang menghadapi bayang-bayang PHK masal? Apakah memikirkan petani yang susah menjual hasil taninya karena ketidak jelasan pasar?," kata Aru mempertanyakan. 

"Apakah memikirkan nelayan yang mengalami penurunan harga ikan hasil tangkapan? Dan apakah memikirkan rakyat Indonesia yang sedang berjuang sepenuh jiwa raga menghadapi Covid-19? Tentu pengesahan UU Cipta Kerja ini menusuk hati kita sebagai rakyat Indonesia, sebuah keputusan yang sangat diskriminatif terhadap rakyat di tengah pandemi Covid-19. Padahal, masyarakat sedang fokus dalam memerangi Covid-19, memulihkan kesehatan, dan memulihkan ekonomi," tambah Aru.

Aru juga menuturkan, DPP GMNI dan seluruh DPD dan Cabang se-Indonesia menggelar aksi serentak untuk menolak UU Cipta Kerja.

Aru yang juga merupakan korlap aksi DPP GMNI menambahkan, Pemerintah dan DPR yang mengatasnamakan pemimpin dan wakil rakyat bersama oligarki adalah lawan bersama. Karenanya, GMNI secara kelembagaan menolak UU Cipta Kerja dengan beberapa alasan.

Diantaranya, sebagai organisasi perjuangan yang berwatak kerakyatan, DPP GMNI bersama seluruh elemen masyarakat menolak UU Cipta Kerja yang banyak merugikan kaum marhaen (rakyat kecil).

"DPP GMNI menilai, Pemerintah dan DPR menggap rakyat sebagai objek politik, dengan minimnya partisipasi publik dalam proses penyusunan UU Cipta Kerja ini," kata Aru.

Sementara Dodi Nugraha, selaku Wakil Korlap aksi hari ini menjelaskan, bahwa pasal 127 UU Cipta Kerja mengenai Bank Tanah, justru memperparah ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia. 

"Bank Tanah diberikan hak pengelolaan untuk memberikan Hak Pakai, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan kepada pihak lain selama 90 tahun. (padahal saat ini, 1% Penduduk Indonesia menguasai 68% tanah di Indonesia)," kata pengurus DPP GMNI asal Cianjur ini.

Selain itu, tambah Dodi, dalam UU Nomor 23 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dapat menjerat pelaku pembakaran hutan dan lahan (Karhutla), tetapi pemerintah dan DPR menghapusnya di UU Cipta Kerja.

"Penghapusan redaksi 'Tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan' pada Pasal 88 UU PPLH. Sehingga Pasal 88 tersisa 'setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya," jelasnya.

Dodi juga mengatakan, seharusnya kebijakan pemerintah lahir untuk rakyat dan berpihak pada kepentingan rakyat banyak, bukan segelintir pengusaha dan oligarki. Oleh karena itu GMNI mengajak kepada seluruh elemen masyarakat untuk berpartisipasi menolak UU Cipta Kerja tersebut.

Perlu diketahui, DPP GMNI rencananya akan menggelar aksi lanjutan serentak bersama elemen buruh untuk menolak UU Cipta Kerja. Ada sembilan poin yang menjadi tuntutan GMNI pada aksi kali ini.

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta :
Editor :

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya