SUARA INDONESIA MALANG

Reforma Agraria Masih Jauh dari Cita-cita

- 18 November 2020 | 11:11 - Dibaca 2.27k kali
Politik Reforma Agraria Masih Jauh dari Cita-cita
Sekbid Politik Eksternal DPK GmnI Universitas Muhammadiyah Malang, Zainul Rahman.

Oleh: Zainul Rahman

(Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan & Sekbid Politik Eksternal DPK GmnI Universitas Muhammadiyah Malang)

Konflik agraria merupakan masalah dan tontonan pilu yang ada sejak dahulu. Beranekaragam masalah agraria sering diperbincangkan, mulai dari sengketa lahan, berbagai perusahaan yang mengeksploitasi diluar dari batas HGU, persoalan tanah adat dan sekelumit konflik akan tanah lainnya. Persoalan-persoalan semacam ini umum sekali adanya, tidak sedikit juga upaya yang dilakukan sebagai solusinya. Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf periode ke-dua juga menggaungkan reforma agraria sebagai solusi untuk meminimalisir konflik agraria yang terjadi selama ini. Namun, apakah reforma agraria yang digaungkan berhasil mencapai target yang dicita-citakan?

Reforma agraria sederhananya merupakan kebijakan yang dicanangkan oleh pemerintah dalam restrukturirasi kepemilikan, penggunaan dan pengelolaan tanah yang timpang dengan mekanisme legislasi dan program terencana demi keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini terdengar sebagai angin segar atas konflik agraria yang terjadi selama ini, namun bagi masyarakat yang memiliki konflik akan lahannya, reforma agraria terdengar seperti utopis. Meski reforma agraria sejak dahulu digaungkan, namun konflik akan tanah terus dan banyak adanya. Pada tahun 2017, terdapat 1.162 kasus yang diadukan ke Komnas HAM, dan 269 (23,14 %) nya merupakan konflik agraria. Dari 2018 hingga April 2019, tercatat ada 196 kasus agraria di Indonesia yang diatangani oleh Komnas HAM. Bahkan di tengah pandemipun yakni mulai 2 Maret hingga April 2020 Konsorsium Pembaruan Agraria atau KPA mencatat terdapat 9 kasus konflik agraria. Ini artinya bahwa konflik agraria masih masif sekali terjadi di Indonesia.

Salah satu konflik agraria yang terjadi akhir-akhir ini meski di tengah pandemi ialah sengketa lahan yang dimiliki oleh warga Desa Pagar Batu, Kecamatan Pulau Pinang, Kabupaten Lahat, Sumatra Selatan dengan PT. Arta Prigel. Konflik ini pada dasarnya terjadi sejak lama, dan kembali memuncak pada Sabtu 21 Maret lalu. Konflik yang terjadi ini memakan dua korban jiwa dari pihak warga yang menentang PT. Arta Prigel. Kedua korban meninggal karena mengalami luka bacok dari pihak pengamanan PT. Arta Prigel yakni oleh security, preman, dan lima aparat kepolisian. Pemicu konflik ini cukup umum sekali ditemukan, yakni perusahaan yang melakukan eksploitasi di luar batas HGU sehingga mengundang penolakan dari warga pemilik lahan.

Konflik agraria yang berkenaan dengan HGU memang sangatlah awam ditemukan. Konflik HGU begitu masif adanya di berbagai daerah di Indonesia. Penulis menilai dalam menangani persoalan-persoalan agraria semacam ini, perlu diselesaikan dengan pendekatan hukum pertanahan dan pendekatan sosial. Untuk meminimalisir konflik semacam ini diperlukan aturan dan penjabaran yang jelas, tidak tumpang tindih sehingga memicu konflik. Batas-batas daerah eksploitasi yang tercantum dalam HGU mesti diperjelas dan dijalankan sesuai yang ada dalam aturan. Ini membutuhkan pengawasan dan kontrol dari berbagai stakeholder terkait termaksud masyarakat. Kemudian perlu melakukan sosialisasi secara masif ke masyarakat terkait berbagai informasi yang berkenaan dengan lahan dan keberlangsungan hidup mereka. Penulis juga menilai jika terjadi konflik semacam kasus di atas, mesti diselesaikan dengan pendekatan persuasif, pendekatan yang lebih humanis, karena dengan cara yang represif malah akan menambah panjang persoalan.

Berdasarkan beberapa hal tersebut, dapat dicermati bahwa konflik agraria masih menjadi persoalan serius dan gaung reforma agraria dirasa masih jauh dari apa yang dicita-citakan. Konflik agraria yang terjadi selama ini mencerminkan tidak terpenuhinya rasa keadilan bagi kelompok masyarakat yang menggantungkan hidupnya di tanah dan kekayaan alamnya. Masifnya konflik agraria merupakan refleksi dari kurang optimalnya reforma agraria, bahwa reforma agraria masih jauh dari apa yang dicita-citakan. Timpang tindihnya pengelolaan lahan di Indonesia juga merupakan salah satu alasan adanya konflik agraria. Mendasari hal tersebut, penulis menilai mesti adanya perbaikan dalam aktualisasi reforma agraria di Indonesia.

Menurut penulis, ada beberapa upaya untuk memberikan solusi alternatif dalam meminimalsiri konflik agraria di Indonesia. Hal tersebut ialah mesti adanya political will yang kuat dari pemerintah dalam mengatasi persoalan konflik agraria. Political will ini berkenaan dengan keinginan kuat dari pemerintah dalam mendesain hukum pertanahan. Pemerintah mesti merancang Undang-Undang Pertanahan yang kompleks, yang tidak menimbulkan tumpang tindih sehingga memicu konflik. Kemudian, dalam aktualiasinya perlu dipertegas, juga mesti ada control dan pengawasan yang komperhensif dari berbagai pihak terkait termaksud masyarakat.

Berikutnya, guna menyelaraskan dengan cita-cita reforma agraria, yakni memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat, pemerintah dengan segala legitimasi dan otoritas yang dimilikinya diharapkan tidak menekan dan memaksa masyarakat dengan cara yang represif. Tindakan represif hanya menimbulkan kemarahan publik dan mengurangi trust masyarakat kepada pemerintah. Perlu dipahami, bahwa salah satu pemicu utama konflik lahan juga karena minimnya komunikasi sehingga tidak lahirnya win win solution antara para stakeholder. Terkait persoalan akan tanah, perlu adanya kebijakan deliberatif, karena ini berenaan dengan kehidupan sosial masyarakat. Kebijakan deliberatif adalah kebijakan yang proses perumusannya melalui pembahasan yang intensif antara pemerintah dan masyarakat. Komunikasi dan penyampaian informasi antara kedua belah pihak terkait adalah salah satu cara untuk menghadirkan win win solution dalam sebuah konflik. 

Terakhir, penulis meyakini bahwa konflik agraria akan terus terjadi. Masyarakat atau pemilik tanah akan minim mendapatkan keadilan jika orientasi pemerintah terus pada investasi dan melakukan perluasan lahan. Konflik agraria akan terus terjadi jika minimnya kebijakan liberatif yang diambil. Oleh sebab itu, besar harapan untuk para LSM, LBH dan berbagai organisasi atau lembaga terkait lainnya agar bisa membantu dalam memberikan informasi dan memberikan advokasi bagi para korban konflik agraria di Indonesia.

**Opini diatas bukan tanggungjawab redaksi!

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta :
Editor :

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya