JAKARTA - Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) kembali menegaskan sikapnya. Menolak Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Penegasan itu disampaikan Ketua Umum DPP GMNI, Arjuna Putra Aldino dalam diskusi daring bertajuk 'Pemuda Bicara Omnibus Law', Minggu (11/10/2020).
Dalam diskusi, hadir pimpinan dan perwakilan pimpinan pusat organisasi yang tergabung dalam forum Cipayung Plus. Yaitu PMKRI, GMKI, KMHDI, IMM, HMI, KAMMI dan LMND.
"Yang kita soroti, bagaiman pengelolaan tanah. UUPA tidak mampu dijalankan oleh negara ini. Kemudian ada bank tanah," kata Arjuna, menyampaikan salah satu alasan penolakan UU Cipta Kerja, Senin (12/10/2020).
Arjuna sadar, kepentingan negara dalam UU tersebut adalah menumbuhkan investasi. Namun, aturan itu dinilai berbahaya dan merugikan bangsa Indonesia.
Mulai dari ancaman kerusakan lingkungan, tak ada sanksi tegas bagi korporasi yang merusak lingkungan, pengaturan soal pertambangan yang dinilai diduga ada kongkalikong pemerintah dengan pengusaha tambang hingga persoalan upah minimum.
"UU Cipta Kerja ini untuk investasi. Tapi tidak boleh merampas hak-hak masyarakat. Mengundang investasi silahkan. Tapi tidak merusak alam dan merugikan masyarakat," kata ketua umum yang terpilih pada Kongres GMNI di Ambon, tahun 2019 itu.
Menurut Arjuna, pembahasan terhadap undang-undang ini terkesan tertutup. Juga tidak partisipatif. Dalam artian, sedikit melibatkan partisipasi masyarakat.
Selain itu juga tak merangkul kepentingan seluruh masyarakat. Hanya segelintir saja. Yakni golongan pengusaha, di antaranya. Di sisi lain, pengupayaan omnibus law di Indonesia dinilai kacau. Tak cocok secara filosofis.
Arjuna pun menegaskan langkah GMNI selanjutnya. Menempuh jalur litigasi. Yaitu judicial review (JR). "Omnibus law tak bisa sesimpel itu. Maka dari itu, saya, DPP GMNI melihat, ada harapan untuk digugat secara konstitusional. Kita review (JR) ke MK (Mahkamah Konstitusi)," kata Arjuna tegas.
Dalam forum diskusi yang sama, pimpinan maupun perwakilan pimpinan pusat organisasi yang hadir, di antaranya sepakat. Melakukan hal sama. Yakni upaya litigasi (judicial review).
Aldo mewakili PP PMKRI, mengatakan, JR menjadi komitmen awal organisasinya. Selain melakukan upaya aksi massa.
"Kedepannya, dimulai dengan konsolidasi gerakan secara nasional. Kita tetap bangun gerakan. Tetap kita akan mengajukan JR ke MK. Dan itu menjadi komitmen awal PMKRI," katanya.
Rezki mewakili PP KAMMI, menegaskan organisasinya tetap menolak UU tersebut. Langkah-langkah hukum dapat dilakukan agar UU batal. Yakni judicial review, legislative review dan executive review.
"UU ini harus dipertanggungjawabkan oleh pemerintah. Tetap jaga solidaritas. Apapun yang terjadi kita tetap bersama rakyat," tegasnya.
DPP IMM juga demikian. Menyerukan JR. "Membangun kekuatan harus dilakukan. Kita juga perlu menempuh jalur hukum. Kita harus melakukan JR. Yudikatif harus berpihak pada kita," ungkap Najih Prastiyo.
Sebelumnya, DPP GMNI yang kini dipimpin ketua umum Arjuna Putra Aldino dan sekretaris jenderal M. Ageng Dendy Setiawan menolak tegas UU Cipta Kerja. Sikap itu diwujudkan dengan aksi demonstrasi bersama barisan massa buruh, 8 Oktober 2020 lalu.
Ada beberapa poin-poin yang jadi alasan penolakan. Di antaranya, soal adanya bank tanah. Terdapat dalam pasal 127 UU Cipta Kerja mengenai bank tanah. Hal itu dinilai memperparah ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia.
Kemudian soal tak adanya sanksi pidana bagi korporasi. Dinilai sebagai ancaman terhadap kelestarian lingkungan. Berikutnya soal ancaman kebebasan pers. Dirubahnya isi dari pasal 11 dan pasal 18 UU Pers pada UU Cipta Kerja berpotensi mengancam nilai-nilai kebebasan pers bagi jurnalis.
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : |
Editor | : |
Komentar & Reaksi